Pages

PANGLIMA ISLAM “KHALID BIN WALID” YANG TAK TERKALAHKAN

Rabu, 10 Februari 2016


ku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki  bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati di tempat  tidur  seperti  unta  tua  mati.  Semoga  mata para pengecut  tidak  pernah tidur."  –  Khalid  bin  Walid  menjelang kematiannya.

Khalid bin Walid, jenderal perang Islam berjuluk "Saifullah Al-Maslul (pedang Allah yang terhunus)". Reputasinya  sebagai  seorang jenderal  ditakuti  dan dikagumi  lawan-lawannya. Khalid bin Walid (592–642), lahir sekitar tahun 592, ayahnya bernama Walid bin al-Mughira seorang kepala suku dari banu Makhzum (bangsa Quraisy). Disaat  itu  banu  Makhzum bertanggung  jawab  terhadap masalah perang, mengurus  persenjataan  dan  tenaga  tempur.  Sesaat  setelah  dilahirkan, Khalid dikirim ke suku Badui di gurun di mana udaranya masih bersih, segar dan belum terpolusi. di  usia lima atau 6 tahun, ia kembali  ke Mekah. Di masa kanak-kanak tersebut Khalid juga pernah terserang cacar ringan yang mengakibatkan timbulnya bekas cacar (bopeng) dipipi kirinya. Khalid bin Walid dan Umar bin Khattab adalah saudara sepupu dan memiliki kemiripan wajah. Keduanya sangat tinggi, Khalid memiliki tubuh yang kuat, bahu  yang  lebar,  badan  yang  kekar  juga  berjenggot  penuh  dan  tebal  diwajahnya. Khalid seorang juara gulat, suatu ketika ia pernah adu gulat dengan Umar bin Khattab. Khalid dapat mematahkan kaki  Umar.
Ini  mungkin awal dari perseteruan dua saudara sepupu tersebut. Khalid juga jago berkuda, dimasa kecil  ia  juga  berlatih  menggunakan  senjata  seperti  panah, tombak, dan pedang. Tombak adalah senjata favoritnya.


Di Era Nabi Muhammad saw (610–632)
Pertempuran Melawan Kaum Muslimin Tidak  banyak  diketahui  kisah  Khalid  bin  Walid  di  masa-masa  awal  nabi. Muhammad saw. Ayah  Khalid  dikenal  memusuhi  Islam. Setelah  periode hijrah dari  Mekah ke Madinah, maka pertempuran antara kaum muslimin dgn kaum kafir quraisy pun dimulai. Khalid bin Walid tidak turut serta dalam perang  Badar,  peperangan  pertama  antara  kaum muslimin dengan  kafir quraisy. Dalam perang ini  saudara Khalid, Walid bin Walid tertangkap dan ditawan.  Kemudian  Khalid  bersama  sang kakak  pergi  ke  Madinah  untuk menembus  Walid.  Namun segera  setelah ditembus,  dalam perjalanan ke Mekah, Walid melarikan diri, kembali ke Madinah dan masuk Islam. Kepemimpinan Khalid berperan besar untuk memastikan kemenangan kaum kafir quraisy dalam perang Uhud (625 M). Tahun 627 M terjadi  Pertempuran Khandaq, ini merupakan peperangan terakhir Khalid dengan kaum Muslimin.
Masuk Islam
Saat  perjanjian  perdamaian  (Perjanjian  Hudaibiyyah,  Maret  628  M) berlangsung  antara  kaum  muslimin  dan  kafir  quraisy, sejarah  mencatat bahwa nabi Muhammad berkata kepada Walid (saudara Khalid), "Seseorang seperti Khalid, pasti akan tertarik pada Islam". Walid kemudian mengirim  surat  kepada  Khalid, membujuknya masuk Islam. Khalid yang sebenarnya tidak  terlalu mengidolakan  berhala-berhala  Ka'bah  kemudian  mengajak bicara Ikrimah bin Abu-Jahal  – teman semasa  kecilnya  – yang menentang niatnya untuk masuk Islam. Khalid  kemudian  diancam oleh  Abu  Sufyan  yang  hendak  menyerangnya dengan penuh amarah, namun dihalangi  oleh Ikrimah. "Sabar,  Wahai  Abu Sufyan,  kemarahan Anda  mungkin juga  membawa  saya  untuk bergabung dengan Muhammad. Khalid bebas untuk mengikuti agama apa pun ia pilih". Khalid sendiri membalas Abu Sufyan dengan menjawab bernada keras, "Demi Allah orang suka atau tidak, sungguh dia benar." Bulan May 629 M, Khalid menuju Madinah dan bertemu dengan Amru bin Ash dan  Uthman  bin  Talha  yang  juga  menuju  Madinah  untuk  masuk  Islam. Mereka tiba di  Madinah pada 31 May 629 serta segera menuju rumah nabi Muhammad saw. Khalid kemudian diterima oleh sang kakak Walid bin Walid yang lebih dahulu masuk Islam.
Pertempuran Bersama Kaum Muslimin Di Era Nabi Muhammad saw
Tiga  bulan  setelah  kedatangan  Khalid di  Madinah,  nabi  Muhammad  saw mengirim utusan kepada  penguasa  Ghassanid Suriah, pengikut  kekaisaran Romawi Bizantium, dengan surat mengundang dia untuk masuk Islam. Ketika melewati  Mu'tah, utusan ini dicegat dan dibunuh oleh seorang kepala suku lokal  Ghassanid  dengan  nama  hurahbil  bin  Amr.  Secara  tradisi  utusan diplomatik memiliki kekebalan dan tidak boleh dibunuh. Kabar ini membuat Madinah marah. Sebuah  ekspedisi  segera  disiapkan  untuk mengambil  tindakan  hukuman terhadap Ghassanid. Rasulullah lantas menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima  perang, bila Zaid gugur maka Ja'far bin Abi Thalib yang menggantikannya, dan bila Ja'far gugur maka Abdullah bin Rawahah akan menggantikannya Bila  ketiga  panglima  perang  tersebut  gugur  maka panglima perang selanjutnya dipilih oleh pasukan muslimin. Ketiga  panglima perang  tersebut  pun  akhirnya  gugur  syahid.  Pasukan muslimin pun kemudian memilih Khalid Bin Walid sebagai panglima perang. Khalid  kemudian  mengatur  strategi  bagaimana  3000 pasukan muslimin selamat dari pembantaian 100.000 (200.000) pasukan  gabungan  Romawi Bizantium  dan  Ghassanid  Arab  dalam peristiwa  yang  dikenal  sebagai Pertempuran Mu'tah. Sepanjang malam Khalid mengatur pasukannya menjadi  beberapa pasukan dibelakang pasukan utama. Pagi  harinya menjelang pertempuran pasukan tersebut bergerak maju seakan-akan mereka adalah pasukan bala bantuan. Romawi  pun  merasa gentar  mengira  pasukan  muslimin  mendapatkan pasukan tambahan dalam jumlah besar.
Saat itu sepanjang hari  Khalid entah bagaimana tetap bertahan dan tidak menyerang.  Malam  harinya  Khalid  memerintahkan  pasukannya  untuk mundur  dan kembali  ke Madinah. Namun Romawi tidak mengejar  karena khawatir ini merupakan jebakan. Dalam Pertempuran Mu'tah ini  Khalid kehilangan sembilan pedangnya. Dan setelah pertempuran ini, Khalid diberi  gelar  Pedang Allah oleh Rasulullah saw.
Pertempuran Selanjutnya Setahun kemudian pada  630 M  kaum muslimin maju  dari  Madinah  untuk membebaskan  Mekah.  Dalam Pembebasan  Mekah  ini, Khalid  memimpin salah satu dari empat pasukan muslim yang bergerak dari empat arah yang berbeda mengepung  Mekah.  Dan hanya  pasukan  Khalid  yang  sempat mendapat  perlawanan  dari  pasukan  kavaleri  quraisy  yang menolak menyerah. Di tahun itu juga Khalid terlibat dalam Pertempuran Hunain dan pengepungan Tha'if. Khalid juga terlibat dalam Pertempuran Tabuk yang dipimpin langsung nabi Muhammad saw. Khalid lalu dikirim ke wilayah Daumat-ul-Jandal dimana ia berjuang dan  berhasil  menangkap pangeran arab  Daumat-ul-Jandal, memaksa Daumat-ul-Jandal untuk menyerah. Pada 631 M Khalid bin Walid turut serta berpartisipasi dalam haji perpisahan Muhammad.  Dalam  peristiwa  ini,  ia  mengumpulkan  beberapa  rambut Muhammad, sebagai  peninggalan  suci, yang akan  menginspirasinya memenangkan pertempuran di masa mendatang.
Pertempuran Riddah
Setelah  kematian  nabi  Muhammad  saw,  banyak  suku  arab  yang memberontak  dan  menolak  kekuasaan  Madinah.  Khalifah Abu Bakar mengirim  pasukan  untuk  mengatasi  pemberontakan  dan  mereka  yang murtad. Khalid adalah salah satu penasehat utama Abu Bakar dan arsitek perencanaan  strategis  Pertempuran  Riddah.  Dia  diberi  komando  atas brigade muslimin terkuat (terdiri dari pejuang pilihan muhajirin dan anshar) dan dikirim ke pusat arab, daerah yang paling strategis dan sensitif di mana suku pemberontak paling kuat tinggal. Daerah ini paling dekat dengan kubu muslim Madinah dan merupakan ancaman terbesar ke kota. Pertama-tama, Khalid berangkat ke suku-suku pemberontak Tayy dan Jalida, dimana Adi bin Hatim – seorang sahabat terkemuka Nabi Muhammad, dan seorang kepala suku dari suku Tayy – dikirim sebagai penengah. Kedua suku kemudian setuju kembali bergabung ke kekhalifahan.
Pada pertengahan September 632 M, Khalid mengalahkan Tulaiha, seorang pemimpin pemberontak yang mengaku sebagai nabi untuk menarik dukungan bagi  dirinya  sendiri.  Kekuasaan Tulaiha  hancur  setelah pengikutnya  yang tersisa  dikalahkan  di  Pertempuran Ghamra.  Khalid  berikutnya  bergerak menuju  Naqra  dan  mengalahkan  pemberontak  suku  Bani  Salim  dalam Pertempuran Naqra. Wilayah ini berhasil diamankan setelah Pertempuran Zafar  bulan Oktober  632 dengan kalahnya Salma seorang perempuan yang memimpin sisa-sisa pembangkang murtad.
Kontroversi Pembunuhan Malik bin Nuwairah
Setelah wilayah sekitar  Madinah, ibukota  Islam,  direbut  kembali,  Khalid memasuki Nejd, wilayah perkampungan dari suku banu Tamim. Banyak dari anggota  suku  banu  Tamim yang  bergegas  untuk  mengunjungi  Khalid dan menyatakan  tunduk  kepada kekuasaan  kekhalifahan.  Tetapi  suku  banu Yarbu, di  bawah pimpinan Malik bin Nuwairah, menolak menyerah. Malik kemudian memilih menghindari kontak langsung dengan pasukan Khalid dan memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar, dan ia dan keluarganya melarikan diri melintasi padang pasir. Malik  kemudian  tertangkap oleh  pasukan  Khalid  dan  diserahkan  kepada Khalid. Lalu diminta pertanggungjawaban mengenai "kejahatannya". Malik kemudian  mengatakan,  "sahabat  anda  mengatakan  ini, sahabat anda mengatakan  bahwa…"  merujuk  kepada  Abu  Bakar,  Khalid  menyatakan bahwa  Malik  murtad  dan  pemberontak, lalu memerintahkan  agar  dia dieksekusi.  Setelah eksekusi  Malik,  Khalid menikahi  istrinya  yang  sangat cantik, Layla bint al-Minhal (Umm Tamim) di malam harinya. Kasus Malik bin Nuwairah  ini  memang  penuh  kontroversi  karena  Malik  dan  pengikutnya menyakini bahwa mereka masih muslim. Abu Qatadah al-Anshari,  seorang sahabat  Muhammad,  yang mendampingi Khalid sangat terkejut dengan perbuatan Khalid meng-eksekusi mati  Malik dan  menikahi  istrinya.  Dengan  keadaan  marah,  ia  segera  kembali  ke Madinah, dan melaporkan perbuatan Khalid kepada Khalifah Abu Bakar. Ia juga bersumpah tidak akan mau lagi berada dibawah komando Khalid yang telah membunuh seorang Muslim. Abu Bakar ternyata malah memuji Khalid dan  kemenangan-kemenangannya dan  tidak  senang  dengan  sikap  Abu Qatadah. Kemarahan Umar Terhadap Perbuatan Khalid Kecewa  dengan reaksi  Abu Bakar,  lantas  Abu Qatadah  mengadu kepada Umar bin Khattab. Umar ternyata sependapat dengan Abu Qatadah bahwa Khalid mengampangkan  hukum Allah.  Umar  segera  menemui  Abu  Bakar, meminta agar Khalid dipecat. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus  ada  sanksinya."  ujar  Umar.  "Ah  Umar!  Dia  sudah  membuat  pertimbangan  tapi  salah. Jangan  mengatakan  yang  bukan-bukan  tentang Khalid." jawab Abu Bakar. Namun Umar bersikeras agar Khalid diberi sanksi."Umar!  Aku  tak  akan  menyarungkan  pedang  yang  oleh  Allah  sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!" kata Abu Bakar kesal.
Pertempuran Yamamah
Setelah insiden Malik,  Abu  Bakar  mengirim Khalid untuk  menghancurkan ancaman  paling  berbahaya  bagi  negara  Islam  yang baru  lahir.  Yakni Musailimah, pemimpin banu Hanifah yang mengaku sebagai nabi, dan sudah mengalahkan dua  pasukan muslimin. Pada  minggu ketiga  bulan Desember 632,  Khalid  meraih  kemenangan  yang  menentukan  melawan  Musailimah pada  Pertempuran Yamamah.  Musailimah  tewas  dalam pertempuran  itu. Setelah  peristiwa  ini,  hampir  semua  pemberontakan  suku-suku berhasil ditumpas  dalam  Pertempuran  Riddah  yang  berlangsung  selama  sekitar setahun. Invasi Ke Wilayah Kekaisaran Persia Setelah masalah  pemberontakan  selesai,  dan  penduduk  arab  kembali bersatu dalam panji Islam. Abu Bakar khawatir melihat wilayah Islam yang terjepit diantara 2 kekaisaran besar (Persia dan Romawi Bizantium) lantas memutuskan untuk menyerang Persia dan Romawi. Khalid kemudian dikirim untuk memerangi Kekaisaran Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan untuk menaklukkan provinsi terkaya kekaisaran Persia, wilayah sungai Efrat Mesopotamia yang lebih rendah, (Irak). Khalid  dengan cepat  meraih  empat pertempuran  berturut-turut.Pertempuran Chains, berperang pada bulan April  633, Pertempuran Sungai, bertempur di minggu ketiga bulan April 633, Pertempuran Walaja, berperang Mei  633 dan Pertempuran Ullais, bertempur di  pertengahan bulan Mei  633. Pada minggu terakhir bulan Mei  633, Al-Hira, ibu kota daerah Mesopotamia rendah,  jatuh  ke  tangan  Khalid.  Penduduk Mesopotamia rendah  (Irak) memilih  berdamai  dengan  membayar  jizyah  (upeti)  setiap  tahun  serta setuju untuk memberikan informasi intelijen bagi pasukan muslimin. Setelah beristirahat pasukannya, pada bulan Juni 633. Khalid mengepung Anbar yang meskipun mendapat perlawanan sengit berhasil direbut pada bulan Juli 633. Khalid kemudian bergerak ke arah selatan, dan menguasai Tamr Ein ul pada minggu terakhir bulan Juli, 633.Sekarang, hampir semua Mesopotamia rendah, (wilayah utara Efrat), berada di  bawah  kendali  Khalid. Sementara  itu,  Khalid  menerima  permintaan permohonan bantuan dari  Ayaz bin Ghanam di wilayah Daumat-ul-Jandal. Agustus 633,  Khalid  pergi  ke  Daumat-ul-Jandal  dan  mengalahkan  para pemberontak  dalam Pertempuran  Daumat-ul-Jandal,  menguasai benteng kota. Dalam perjalanan kembali ke Mesopotamia, Khalid dikabarkan telah melakukan perjalanan rahasia ke Mekah untuk berpartisipasi dalam haji. Setelah  kembali  dari  Arab,  Khalid  menerima informasi intelijen  bahwa adanya  pasukan Persia  dalam jumlah besar  dibantu orang Kristen Arab. Pasukan besar ini terbagi dalam empat kamp-kamp yang berbeda di wilayah Efrat, di Hanafiz, Zumail, Saniyy dan terbesar berada di Muzayyah. Khalid memilih menghindari pertempuran langsung melawan mereka semua. Lantas memutuskan  untuk  menyerang  dan  menghancurkan  setiap kamp kamp dalam serangan malam hari terpisah dari tiga sisi. Dia membagi pasukannya dalam  tiga  unit,  dan  menyerang  pasukan Persia dalam  serangan terkoordinasi  dari  tiga arah yang berbeda pada malam hari, dimulai  dari Pertempuran  Muzayyah, maka Pertempuran  Saniyy,  dan  akhirnya Pertempuran Zumail pada bulan November 633 Masehi.
Setelah serangkaian kemenangan, sampailah Khalid dan pasukannya di Firaz yaitu perbatasan Irak dengan Syam. Dalam pertempuran terakhir Khalid di wilayah  Persia  ini,  bersama  pasukannya  Khalid  menghadapi  pasukan gabungan Romawi, Persia dan Kristen Arab dalam pertempuran yang dikenal sebagai  Pertempuran Firaz. Ketika Khalid sedang dalam perjalanan untuk menyerang  Qadissiyah, sebuah  benteng  kunci  menuju  Ctesiphon,  ia menerima  surat  dari  Abu  Bakar  yang  memerintahkannya  untuk  menuju Romawi Bizantium di Suriah dengan maksud membebaskan Syam.
Setelah sukses  menaklukan provinsi  Persia  –  Sassanid Irak,  Khalifah Abu Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menyerang Levant (Romawi Suriah). Invasi ini akan dilaksanakan oleh empat pasukan dari empat arah berbeda. Bizantium  menanggapi  ancaman ini  dengan  menempatkan  pasukanpasukannya  saling  berhadapan  dengan  masing-masing  pasukan  muslimin. Bizantium juga memusatkan pasukan mereka di  Ajnadyn (suatu tempat di Palestina, mungkin al-Lajjun). Langkah pasukan muslim tertahan di wilayah perbatasan, disebabkan kekuatan besar di pihak Romawi Bizantium. Tentara muslimin  tidak  lagi  bebas  untuk  bergerak  ke  Suriah pusat  atau  utara. Kekuatan  pasukan  muslimin  tampaknya  terlalu  kecil  melawan  ancaman pasukan  Bizantium dalam jumlah besar,  dan  Abu  Ubaidah  bin  al-Jarrah, komandan  Muslim  bagian  depan  Suriah,  meminta  bala  bantuan  dari Khalifah. Abu Bakar menanggapinya dengan mengirimkan bala bantuan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, dari  Irak. Khalid yang ingin melanjutkan perjuangannya  membebaskan  Persia  merasa  kesal.  Khalid  curiga  bahwa perintah Khalifah karena saran Umar  bin Khattab. "Ini pasti perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah – yakni Umar bin Khattab – dia dengki kepadaku karena aku yang membebaskan Irak." kata Khalid setelah membaca surat perintah Khalifah.
Ada dua rute menuju Suriah dari Irak, salah satunya melalui Daumatul jandal (sekarang dikenal sebagai Skaka) dan yang lainnya adalah melalui Mesopotamia  melewati  Ar-Raqqah. Karena pasukan  Islam di Suriah  yang membutuhkan bantuan secepatnya, Khalid menghindari  rute konvensional ke  Suriah  melalui Daumat-ul-Jandal  karena jauh  dan  akan  memerlukan beberapa  minggu  untuk mencapai  Suriah.  Dia  juga  menghindari rute Mesopotamia karena kehadiran pasukan  Romawi  di  Suriah  utara  dan Mesopotamia. Berperang dengan mereka pada saat pasukan muslimin sedang terkepung di Suriah,  juga berarti  akan terjadi  pertempuran di  dua front. Khalid memilih rute yang tidak terlalu jauh ke Suriah, jalur yang tidak biasa dilalui,  yakni  Gurun  Suriah.  Ia  berjalan  bersama pasukannya  melintasi gurun, di mana secara tradisi diperkirakan prajuritnya akan berjalan selama  dua  hari  tanpa  setetes  minum, sebelum  mencapai  sumber  air  di oasis.Khalid memecahkan masalah kekurangan air dengan menggunakan metode suku Badui. Unta yang diberi minum air yang banyak, setelah unta tersebut sebelumnya dibuat sedemikian haus, sehingga akan mendorong unta untuk minum banyak  air  pada satu  waktu. Beberapa  ekor  unta  kemudian juga dibedah  perutnya  guna  diambil  kantong  airnya untuk  memberi  minum kuda-kuda. Cara  ini terbukti  efektif  bagi  pasukan muslim saat  melintasi gurun. Khalid memasuki  Suriah pada  bulan Juni  634 dan dengan cepat merebut benteng perbatasan dari Sawa, Arak, Palmyra, al-Sukhnah (Qaryatayn dan Hawarin direbut setelah Pertempuran Qarteen dan Pertempuran Hawarin). Setelah menundukkan kota-kota ini, Khalid bergerak menuju Bosra, sebuah kota dekat perbatasan Suriah-Arab dan ibukota kerajaan Ghassanid Arab, pengikut  dari  Kekaisaran  Romawi  Timur.  Dia menuju  arah  Damaskus melewati gunung yang kini dikenal sebagai "Sanita-al-Uqab"  ("jalan tembus Uqab")  dinamai  demikian karena pasukan  Khalid  mengibarkan  al-Uqab, bendera Rasulullah. Dalam perjalanan di  Maraj-al-Rahat, Khalid melewati tentara  Ghassanid Kristen  Arab  dan  terjadi pertempuran singkat  yang dikenal sebagai Pertempuran Marj al-Rahit. Dengan kabar kedatangan Khalid, Abu Ubaidah memerintahkan Syurahbil bin Hasanah,  salah  satu  dari  empat  komandan  pasukan  muslimin,  untuk menyerang kota Bosra. Pasukan Syurahbil  bin Hasanah yang kalah jumlah, ditertawakan  oleh  pasukan  Romawi  Byzantium  dan  Kristen  Arab yang berpikir akan mudah mengalahkannya, namun tanpa mereka duga pasukan Khalid  tiba  dari  gurun  dan  menyerang  sisi belakang  pasukan Romawi Bizantium, menyelamatkan Shurhabil dari kekalahan. Pasukan musuh lantas mundur ke benteng kota. Abu Ubaidah bergabung bersama Khalid bin Walid di  Bosra. Kemudian Khalid, sesuai instruksi  dari  khalifah, mengambil alih komando tertinggi.  Benteng Bosra  menyerah pada pertengahan  Juli  634, efektif  mengakhiri  dinasti  Ghassanid.  Setelah  merebut  Bosra, Khalid memerintahkan semua pasukan untuk bergabung dengannya di Ajnadayn, di mana mereka berjuang dalam pertempuran menentukan melawan Bizantium tanggal 30 Juli 634. Sejarawan modern menganggap pertempuran ini adalah pertempuran paling menentukan dalam mengakhiri kekuasaan Bizantium di Suriah. Akibat  kekalahan  di  Pertempuran  Ajnadayn,  wilayah  kiri  Suriah rentan terhadap tentara muslim. Sekarang, Khalid bin Walid memutuskan untuk merebut Damaskus, benteng Bizantium. Di Damaskus, Thomas, anak angkat Heraklius Kaisar Byzantium, yang bertanggung jawab atas pertahanan kota, mendapat  informasi  intelijen, bahwa  pasukan Khalid  bergerak  menuju Damaskus, ia mempersiapkan pertahanan kota. Dia menulis kepada Kaisar Heraklius,  yang pada  saat  itu di  Emesa,  untuk  mengirim bala bantuan.Selain  itu,  Thomas,  dalam  rangka  untuk  menunda  atau menghentikan pergerakan pasukan Khalid mengirimkan pasukannya untuk bergerak maju. Dua pasukannya dikirim. Yang pertama di Yaqusa  pada pertengahan bulan Agustus  dan  yang lainnya  di  Maraj  as-Saffer  pada  tanggal  19  Agustus. Sementara itu, sebelum bala bantuan Heraklius mencapai Damaskus, Khalid mengisolasi  Damaskus  dengan  menempatkan  detasemen  selatan  di jalur Palestina  dan  di  utara  di jalur  Damaskus  dengan Emesa,  dan  beberapa detasemen lain yang lebih kecil pada rute menuju Damaskus. Bala bantuan Heraklius dicegat dan diserang oleh pasukan Khalid di Pertempuran Sanitaal-Uqab, 30 km dari Damaskus.
Khalid  memimpin serangan dan menaklukkan Damaskus  pada  tanggal  18 September  634  setelah  pengepungan  selama  30  hari. Menurut  beberapa sumber,  pengepungan  ini  berlangsung  selama  sekitar  empat  atau  enam bulan.  Kaisar  Heraklius  yang menerima  berita  jatuhnya  Damaskus, berangkat  ke  Antiokhia  dari  Emesa.  Kavaleri  muslimin  di  bawah  Khalid menyerang pasukan  Bizantium  dari  Damaskus  yang  juga  menuju  ke Antiokhia, menyusul mereka menggunakan jalan pintas yang tidak diketahui, dalam Pertempuran Maraj-al-Debaj, 150 kilometer sebelah utara Damaskus. Abu Bakar  meninggal  selama  pengepungan Damaskus  dan Umar  menjadi khalifah baru. Khalid bin Walid kemudian dipecat sebagai  panglima perang pasukan muslimin oleh Umar bin Khattab. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin al-Jarrah  sebagai  panglima  baru  dalam  pasukan  Islam  di Suriah.
Abu Ubaidah mendapat surat pengangkatan dan pemberhentian Khalid selama pengepungan, tetapi ia menunda pengumuman sampai kota itu ditaklukkan.
Era Khalifah Umar Bin Khattab (634–642)
Pada tanggal  22 Agustus 634, Abu Bakar  meninggal, dan Umar  bin Khattab menggantikannya  sebagai  khalifah.  Langkah  pertama Umar  adalah membebastugaskan Khalid  dari  komando  tertinggi  pasukan muslimin  dan mengangkat  Abu  Ubaidah  sebagai komandan  baru  pasukan  muslimin. Hubungan antara Khalid dengan Umar telah menegang sejak insiden Malik bin Nuwairah. Akibatnya terjadi krisis kepercayaan antara keduanya. Sosok Khalid  yang tak terkalahkan,  membuat  Umar  khawatir  seandainya kaum muslimin  melupakan  fakta  bahwa  semua  kemenangan  ini  karena pertolongan Allah. Umar  menjelaskan  alasannya memecat  Khalid  mengatakan:  "Saya  tidak memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena semua  orang sudah  terpesona,  saya  khawatir  orang  hanya  percaya kepadanya  dan hanya  akan berkorban untuknya.  Maka  saya  ingin mereka tahu bahwa Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah." Setelah  dipecat  sebagai  panglima perang,  Khalid  masih  melanjutkan perjuangan pembebasan Syam dibawah pimpinan Abu Ubaidah. Abu Ubaidah yang  seorang pengagum  Khalid,  memberinya  komando  kavaleri dan menjadikannya sebagai penasihat militer. Aksi heroik Khalid sangat membantu Abu Ubaidah dalam Penaklukan Levant Tengah,  Pertempuran  Emesa,  Pertempuran  Damaskus bagian  kedua, Pertempuran Yarmuk, Penaklukan Yerusalem, Penaklukan Suriah Utara dan Perjalanan ke Armenia dan Anatolia. Pemecatan Khalid bin Walid Dari Kemiliteran Khalid bin Walid, sekarang, berada di puncak karir, ia terkenal dan dicintai oleh  anak  buahnya,  bagi  kaum muslimin  dia adalah seorang  pahlawan nasional,  publik  mengenalnya  sebagai  Saifullah  –  "Pedang  Allah". Ketenarannya  tampak  membuat  risau Khalifah  Umar,  yang  melihatnya sebagai  ancaman  atas  otoritasnya  sendiri.  Umar  tampaknya  sedang membutuhkan alasan untuk mengambil  tindakan hukum terhadap Khalid. Dia menemukan satu alasan seperti  ketika Khalid, selama tinggal di Amid, Armenia, mandi dengan dengan zat tertentu yang mengandung khamr. Umar dalam suratnya kepada Khalid menanyakan perihal ini. Khalid menjawab, "Kami sudah menolaknya tetapi bahan pembersih tak ada selain khamr." Khalid juga diduga membayar Asy'as bin Qais, seorang penyair dan pahlawan perang Persia  untuk membacakan puisi  yang memujinya  dengan bayaran sebesar  10.000 dirham yang diduga  menggunakan kas  negara.  Karena  itu Umar  menuduhnya  menyalahgunakan  keuangan  negara.  Umar kemudian menulis  surat  kepada  Abu  Ubaidah  supaya  memanggil  Khalid,  dan mengikatnya  dengan  serbannya  serta melepaskan qalansuwah-nya  (topi kebesaran) sampai  terungkap pemberiannya  kepada  Asy'as  bin Qais.  Dari harta sendiri  atau dari  harta rampasan perang. Kalau dia mengatakan itu adalah harta rampasan perang, maka itu adalah bukti  pengkhianatannya.Dan  bila  dia mengatakan  itu  dari  hartanya  sendiri  maka  itu  berarti pemborosan. Bagaimanapun juga ia mendapat perintah memecat Khalid bin Walid. Abu Ubaidah yang mengagumi Khalid dan menghormati Khalifah Umar pun menjadi  kebingungan.  Bagaimanapun  juga,  Khalid akhirnya  dipanggilnya namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kurir Umar (yakni muadzin Nabi, Bilal). Dihadapan pasukannya Khalid naik ke atas mimbar, lalu Bilal pun menanyakan asal  muasal  hadiah pemberian  kepada  Asy'as  bin Qais. Khalid menyatakan bahwa  itu semua  dari  hartanya sendiri.  Kejadian ini membuat Khalid marah dan merasa dipermalukan. Kemudian  Khalid  pun mengunjungi  Abu  Ubaidah  yang  lantas memberitahunya  bahwa  dirinya  dipecat  atas  perintah  Khalifah  Umar  bin Khattab,  dan diminta  kembali  ke  Medinah.  Di  Medinah,  dalam keadaan marah Khalid menemui  Umar dan menyatakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil  kepadanya.  Umar  lalu menenangkannya  dengan berkata, "Apa  yang  telah  anda  telah  lakukan  dan  tidak  ada seorang  pun  yang melakukan seperti  yang anda lakukan. Tapi ini  bukan tentang orang yang melakukan, Allah-lah yang melakukan…." Kematian Khalid bin Walid Kurang  dari  empat  tahun  setelah  pemecatannya,  Khalid  meninggal  dan dikuburkan di  642 di  Emesa, di  mana ia tinggal  sejak pemecatannya dari kemilteran.  Makamnya  sekarang  merupakan  bagian  dari  sebuah  masjid bernama Masjid Khalid bin al-Walid. Nisan Khalid menggambarkan daftar lebih dari 50 pertempuran yang ia menangi tanpa kekalahan (tidak termasuk pertempuran kecil).
Dikisahkan bahwa ia ingin mati  sebagai  martir di medan pertempuran, dan sangat kecewa ketika menyadari dirinya akan mati di tempat tidur. Khalid mengungkapkan rasa sedihnya dengan berkata,
"Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki  bekas luka tusuk tombak, pedang atau belati, namun inilah aku, mati ditempat  tidur  seperti  unta  tua  mati.  Semoga  mata  para pengecut tidak pernah tidur."
Keluarga Khalid bin Walid
Ayah Khalid bernama Walid bin al-Mughira dan sang ibu bernama Lubabah as-Saghirah. Walid dikabarkan memiliki banyak istri dan anak, namun hanya beberapa saja yang tercatat dalam sejarah.
Putra Walid bin al-Mughira: (Saudara lelaki Khalid):
  • Hisham bin Walid
  • Walid bi n Wali d
  • Ammarah bin Walid
  • Abdul Shams bin Walid
Putri Walid bin al-Mughira: (Saudara perempuan Khalid):
  • Faktah binti Walid
  • Fatimah binti Walid
  • Najiyah binti al-Walid (masih diperselisihkan)
Tidak diketahui berapa banyak anak yang dimiliki Khalid, namun tiga putra dan seorang putri tercatat dalam sejarah.
Sulaiman bin Khalid
Abdulrehman bin Khalid
Muhajir bin Khalid
Sulaiman bin Khalid (putra tertua), tewas dalam penaklukan Mesir, Muhajir bin  Khalid  meninggal  dalam  Pertempuran  Siffin  saat berperang  di  sis Khalifah Ali  dan Abdulrehman bin Khalid  menjadi  Gubernur  Emesa  saat pemerintahan  Khalifah  Utsman  bin Affan serta  berpartisipasi  dalam Pertempuran  Siffin  sebagai  salah  satu jenderal  dari  Muawiyah  I,  ia  juga bagian dari pasukan Umayyah yang mengepung Konstantinopel pada tahun 664.  Abdulreman  kemudian  akan  ditunjuk  sebagai  penerus  dari  Khalifah Muawiyah, tetapi menurut beberapa narasi (Kemungkinan besar dari Sumber Syiah) ia diracun oleh Muawiyah, karena Muawiyah ingin membuat anaknya Yazid I menjadi penggantinya.
Garis keturunan laki-laki dari Khalid diyakin telah berakhir dengan cucunya, Khalid bin Abdur-Rahman bin Khalid.
________________________________________
Sumber:
Buku "Sejarah Hidup Muhammad" karya Muhammad Husain Haekal
Buku "Biografi Abu Bakar As-Siddiq" karya Muhammad Husain Haekal
Buku "Biografi Umar bin Khattab" karya Muhammad Husain Haekal

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2017. SAHABAT ISKI.
. . .
Creative Commons License